Kamis, 27 Mei 2010

Wanita

kata mereka: tubuh
kata mereka: paras
kata mereka: tutur
kata mereka: rasa
kata mereka: satu sayap

hanya lirih mengukir arti

19 Mei 2010

Sebuah Tanya

apa arti waktu, ruang, rasa, renung, dan nilai?

terkadang udara ini drama
semestinya di layar lebar
tapi menjelma di alur nyata

musnah: mustahil
kalah: bunuh diri
lalu?

ah...
hanya takdir
tapi apakah takdir?

20 Mei 2010

Rindu Ilalang

masih berdesis liris
berpagut hampa
dalam pakau

hanya aku dan lamunan
cengkrama pasi
berjelaga lirik
kesah

hijau dalam pejam
pudar dalam terang
redup berlalu

gemercak syahdu
mata air
basuh kalut
luruh sudah

rindu ilalang
berjelapak sepi

26 Mei 2010

Merpati

sangkar emas harum membiru
merpati merunduk kaku
paruhnya lekat

kering terasing
dari kawanan
terbang

sayap-sayap mengepak lepas
merpati pun bertasbih

20 Mei 2010

Tiba

aku dan waktu kembali bertemu dalam perjalanan
taman belukar adalah tempatku berpijak
hari ini dan esok
sampai raga luluh di ruang vakum

duniaku yang lalu mulai membelakangi
melambaikan tanggal-tanggal berlalu
menatap sedu seakan menjauh, tak kembali

kini pesawat telah mengangkat tangganya
terangkat dari landasannya, perlahan
menuju bandara lain dalam tanah pendakian
dunia baru

ku tinggalkan wajah-wajah itu, nafas-nafas itu
untuk membenarkan jiwa ini
janji

ini saatnya
tiba...!

20 Februari 2010, 10:55

Dengan Waktu

ini adalah roda kembara
aku satu gerigi
biar terkarat

waktu itu segera
membongkar dimensi ruang
biar sesak

tak pernah terhenti
karena alur begitu
biar perlahan

dalam nuansa kemarin
menjajaki tanah yang baru
akhirnya terang

hari ini jadi esok
tak usah pakai arloji
hanya jiwa

18 Februari 2010, 23:28

Sabtu, 22 Mei 2010

Renung

: I. S.

enyah saja lamunan...!
jika menggores nadi
menghanyutkan rasa
membius renung

bukit masih hijau melambai
tanahnya masih licin
semak berduri masih lebat
curug masih berdesau
kawah masih bergolak
puncak masih tegap berdiri

payau tak usah dirasa
meski muara antara laut dan sungai

kita pendaki
tak ingin rebah oleh hujan
berlutut oleh tebing
ditelan jurang

jejaki terjal
atau mati oleh rimba

20 Mei 2010

Arti

diramu usia ku larut
diwarna alur ku hanyut
disimpul ruang ku taut

didihlah jiwa
nyatalah teguh

hiduplah

18 Mei 2010

Minggu, 16 Mei 2010

Berkawan Dengan Waktu

Oleh: Aliva Wilda R

: untuk Wiek

Angin dunia berhembus dalam detik-detik nafas
Tak pernah jemu warnai kedua bola mata
Terkadang hitam legam sampai tak lagi menatap
Atau sekedar gores-gores kelabu layaknya kabut

Raga dan rasa memang benar adanya
Alami seperti Edelweiss di Suryakencana
Begitulah catatan roman para pujangga
Meski mencoba berlari tetap saja sedekat udara

Oh... Jika hanyut bersama hembusan itu
Dimanakah bait-bait nilai selama ini?
Bukankah waktu pun telah menjadi catatan?
Atau hanya sekedar nostalgia belaka

Waktu; kenalilah lebih dekat, lebih akrab!
Memberikan makna tak hanya cerita orang
Menyimpan rahasia tentang ‘sesuatu’. Pasti!
Temukanlah! Bukan di angan-angan, nyata-realita

Bukankah nilai bersama waktu, erat...?
Berkawanlah dengan waktu!
Bersama sinar yang selama ini menerangi
Meski tak seorangpun merasakan hangatnya

Kelak... Akan bertemu pada satu titik
Orang bijak berkata: ‘hakikat-nilai’

13 Mei 2010, 21:00
~jika saja sampai di tanganmu

Sebuah Nama, Semakin Bodoh

Oleh: Aliva Wilda R

Rasa bagai gerimis
Hinggap bagai lebah
Manis atau sengatan
Padu...

Waktu adalah catatan
Tersimpan rapat dalam rekaman
Bukan sebatang rokok
Hilang...

Raga tetaplah raga
Emosi tetaplah emosi
Sisi manusiawi
Kental...

Menjadi parasit dalam darah
Menghitam, kaburkan merah
Sekali ini. Tak pernah ada
Siapa? Mengapa? Bagaimana?

Selalu...
Semakin bodoh
Sebuah nama: Marsha

29 Maret 2010, 00:33
~sebuah pertanyaan, siapa?

Terbakar di Pagi Buta

Alam ini penuh misteri, antara rasio probabilitas dan kausalitas
Hukum thermodinamika tetap berlaku, begitu pula imajinasi
Raga memang berpijak di atas permukaan nyata, kasar-statis
Jiwa tetap larut bersama angin dan desiran ombak rendah

Bulan memang terbit saat senja memulai episodenya
Hilang, saat fajar mulai berdenting layaknya agenda harian
Datanglah mentari dengan sorotan nyata dan kokoh
Mewarnai gulita mencekam dalam laju gerak langkah

Waktu tak kalah misterius, datang dan pergi kapanpun
Bahkan saat aroma tak seharum mawar yang baru merekah
Angin kayangan berembus mendekat, menghampiri ruang renung
Tak terbantahkan layaknya sebuah postulat bahkan undang-undang

Tak sekedar melukiskan imaji, membingkai seperti lukisan dinding
Saat hujan bergemericik tanda gerimis
Embun pun masih saling merangkul bersama ilalang
Udara belum beranjak hangat, masih berkawan kabut

Tapi emosi terlanjur terbakar angin kayangan
Tak mampu dipadamkan oleh sekedar percikan air
Semakin menyatu bagai terdapat kovalensi
Menjadi gusar dalam dunia statistika dan matematika

Tak tentu arah
Terbakar di pagi buta

9 Januari 2010, 22:31
‘tak terkhayalkan sebelumnya’

Suara Langit, Senandung Bumi

Oleh: Aliva Wilda R

Langkah layu mengiringi laju waktu, terasa melambat-merenggang
Angka-angka jam dinding mulai bernyanyi, kata demi kata
Jarak tak lagi menampakkan definisinya
Karena kicau tak hanya menjelang malam
Selalu...

Teriakanmu semakin bergema hingga tak ada lagi ruang
Menjerat mati semua suara, erat menyimpul beku
Rayumu semakin nyata hingga tak ada lagi warna
Memaksa darah ini menjadi hitam mengental

Klimaks sudah senandungmu, ego saja
Dan aku kaku, gemetar
Tak ingatkah arti waktu, ruang, menunggu?
Dan aku terpojok di sudut bisu

Sadarkah?
Awan berada diantara tanah dan langit
Senandungmu hipnosis
Namun suara langit gelegar petir

Aku masih bisu antara bumi dan langit
Gravitasi dan kepakan sayap
Bermainlah dengan waktu!
Larut...
Kelak kau temukan!

Ini dariku

4 Mei 2010, 23:33
~semakin kusut

Angin pun Berhembus, Menanti Hujan

Di bawah terik mentari tergopoh layu sambil tetap berjalan
Dua kaki dirantai dengan material platinum bersuhu di atas 6000
Kedua mata diselimuti warna biru mengaburkan pandangan
Alam pun bak fatamorgana, terbius rasa

Kutilang tak berhenti berkicau
Memenuhi sudut telinga
Menari-nari, berputar-putar di atas kepala
Namun tetap terbakar terik mentari

Dalam ruang sempit mencoba terasing
Menahan laju emosi yang kian merasuk
Menjadi buta dan tuli, hilang
Tetap menggigil oleh angin suhu rendah
Selalu berhembus menembus dimensi ruang

Angin pun berhembus, menanti hujan
Musim menampakkan arahnya
Sambil menunggu habis kemarau
Dimensi lain kehidupan membatasi langkah

Dapatkah tetap tegak melawan waktu
Atau hilang menuju rimba
Merangkai bivak, duduk tersila
Memegang sebatang rokok
Menyandarkan lelah perjalanan

Ya... Kelemahan jiwa
Selalu menjadi hantu
Menjebak dalam jerat
Meski angin berhembus, menanti hujan

29 Januari 2010, 02:10

Sindrom Alexandria

Di tengah Sahara terbakar terik surya, jingga
Melangkah bersama dahaga memegang tongkat Cendana
Selalu ditancapkan dalam setiap derap menjejak
Mencari sebongkah oase mencair melumuri kerongkongan

Namun di negeri Mesir, dan ini masih di Mesir
Di antara rekaman-rekaman dokumentasi sejarah
Kumpulan piramida tetap memukau pelancong kesan
Patung Sphinx masih menjadi kohesi tak terbantahkan

Dan ia pejalan kaki di padang gurun –masih di Mesir
Tatapannya selalu terbentur fatamorgana sebentuk Niagara
Yang dahulu terbentang laut merah menjadi demarkasi
Hanya sebatas hembusan angin senja ketika punggung bersandar

Ini dunia waktu dan dimensi, bukan fiksi dari khayalan
Angin tak pernah berhenti menari, sekalipun iklim berotasi
Menggiring ombak tawar dan laut bermuara mendekat. Payau
Ia benar-benar berada di Mesir, tempat piramida itu

Dimensi ini bukan cuplikan dalam tidur –yang menghilang
Tetapi nyata teraba oleh indra dan benar kohesif
Seperti berada di Malang dalam sebuah pendakian terencana
Dunia rimba, dunia Semeru dalam agenda petualangan
Dan ia bagai mengenakan wind breaker menggenggam veldplest
Bahkan ia masih berada di Mesir, di tengah Sahara

Aroma Semeru begitu semerbak benar-benar nyata
Bahkan di atas pasir vulkanik puncak Mahameru
Akhir pendakian pulau Jawa, menunggu sunrise
Ingat! Waktu hanya sampai sepenggalahan
Atau kepulan asap sulfur meracuni haemoglobin
Lalu... Mati. Mati Soe Hook Gie

Masihkah ia pejamkan mata, rapatkan bibir
Sedang ia masih berada di Mesir

24 September 2009

Titik Triangulasi

Ketika kepulan asap menghitam
Memenuhi ruang renung sudut jiwa
Berputar-putar mencari celah
Melepas kemelut dua warna

Panorama hijau terbentang nyata
Membuka nyanyian yang lalu
Dimana aku tertegun sunyi
Menikmati kontemplasi bahasa diri

Hingga semakin dekat
Dipacu hasrat naluri
Kenyataan identitas
Seorang penjelajah rimba

Tamanku tempat menaruh cerita
Belukar sahabat lama
Tebing terjal penopang semangat
Vegetasi liar tak tergantikan

Terlalu lama tak menyapa
Seakan tak pernah bertatap
Hilang dalam situasi
Hanyut bersama darah perjalanan

Esok... Aku datang
Burangrang. Di titik triangulasi

29 September 2009, 00:27
‘taman jiwa, kusapa engkau kali ini’

Antara Merah dan Hijau

Pagi ini embun bergelayut di ujung-ujung ilalang
Setelah tersapu oleh kata-kata sepanjang malam
Mulai menyejukkan setiap helai rambut kering
Sesejuk Telaga Biru di kala jarum jam mulai berputar

Malam-malam yang lalu tak mampu memejamkan mata
Hanya monolog memenuhi hipotesa-hipotesa subjektif
Membara, walau tak pernahtahu di mana ada api
Membeku, walau suhu bukan nol derajat celsius

Sepasang mata yang lain berkedip-kedip di hadapan
Meneropong arah mata angin dalam perspektif kompas
Aku memandangi laju jarum kompas
Bergoyang-goyang menunjuk dua kutub, utara-selatan

Alibi-alibi berkomentar dari berbagai penjuru
Tak sekedar hitam dan putih
Melukiskan warna-warni pelangi selepas rintik gerimis
Logika semakin berputar-putar mencari lembah

Di mana Suryakencana?
Di mana Mandalawangi?

Tetapi drama teatrikal menjadi percakapan
Menyimpulkan informasi-informasi investigasi
Semakin nampak menghijau
Meski diantara merah dan hijau

1 Oktober 2009, 08:12
‘memacu langkah’

Pertanyaan-pertanyaan

Manusia bernapas, bernyawa, dan selalu menyulam logika
Bercampur padu dengan dorongan-dorongan emosi
Semua terhimpun dalam ruang kecil seluas langit tak berujung
Terkadang menjadi tantangan teka-teki, juga sekedar berwujud penat

Layaknya jiwa, alampun hidup. Berputar menari-nari bersama wujud
Demikian juga waktu, ruang, peristiwa, dan informasi komunikasi
Selalu melantunkan melodi situasi dalam setiap momen terbentuk
Menghembuskan milyaran suara dan nada-nada terangkai

Harmoni ketukan not angka selalu menjadi nyanyian
Berbentuk lagu yang berdansa hingga ujung telinga
Merasuk ke dalam ruang sempit bernama logika
Bersintesis menjadi sketsa pertanyaan-pertanyaan

Hingga...
Bernama informasi yang menjadi cerita non fiksi
Cerita mereka, entah di mana sumber cerita itu

Apakah angin lembah telah berhembus?
Apakah iklim rimba sama terasa sejuk?
Apakah rerumputan seperti kupu-kupu gemar menari?
Apakah cerita itu berdialog, berkonduksi kerabat dekat?

Dan menyimpul kusut dalam logika
Menjadi pertanyaan-pertanyaan
Semoga saja!

27 September 2009, 22:55

Pesona dan Sinar

Dilema kontradiktif dalam lingkaran pertanyaan
Meniupkan aroma warna-warni
Dingin membeku bagai kutub Antartika
Membakar epidermis di tengah medan Sahara

Kompleksitas antagonis-protagonis membaur
Meremas-remas sistem limbik
Hingga mengundang adrenalin walau terasa hiperbolik
Indah, miris senandung semu kehidupan

Istana megah imperium berdinding platinum
Tak goyah oleh Elnino sekalipun
Bahkan getaran tektonik radikal sporadis
Mungkin fiksi tetapi memang dokumenter

Terkadang lukisan anggrek di tepi tebing
Mungkin butir-butir padi di tengah ladang
Bahkan mahkota bermata kristal
Bukankah darah lebih baik mengucur?

Kerlap-kerlip lampu disco
Hingar-bingar taman hiburan
Alun sejuk iklim bukit
Gerigi tebing terjal berduri

Gentayangan dalam elastisitas nyawa
Persepsi multi-influen
Di mana aku berpijak?

15 Juni 2009, 01:00

Sempat Hadir

Batas graduasi telah dihantam keping baja
Letupan-letupan reaksi oksidasi dalam bejana vakum
Klimaks sudah...

Sedang, membisu menghela halus di pertapaan
Menjadi gaduh, mengurai renungan-renungan

Benar-benar seorang diri
Padang ilalang bersama fauna rimba di hadapan selaput realita
Bukan perbukitan tempat tenda-tenda terpancang
Tanah merah...

Raga tak dapat lagi dilukiskan dalam sinema
Menyisakan maya yang sempit, gulita memang
Dunia monolog, dunia egosentris
Sepi...

Saat sekejap terlelap dalam sapaan
Byte-byte memori tanpa elektron
Sebuah desain itu tergambar
Benar, bukan coretan abstrak
Mungkin dan memang benar!!! Teridentifikasi

Perdana dalam momentum hampa
Semakin bosan, kesat, traumatik

Belenggu klasik yang menyimpul erat
Memojokkan emosi hingga mendesak nalar matematika, berontak!!!
Menginginkan restorasi: seorang prajurit

15 Maret 2010, 22:30
~kedatangan pertama di ruang malaikat dan setan bertaruh, ‘bawah sadar’

Memejamkan Mata

Dalam perputaran gerigi-gerigi
Mestinya larut dengan jiwa
Menghijau...

Nafas ini tetap ketar-ketir
Membusuk dalam darah
Menjadi lebam dalam bisu

Hembusan angin bukit kuhirup perlahan
Butir-butir embun kuraba dengan lembut
Sambil memejamkan mata
Berjalan di atas jembatan semedi

Tapi angin tetaplah angin
Hembusannya adalah drama

Di sana menggema ratusan kilometer
Aku terpuruk dalam kebisuan
Bagai memutus nafas diafragma

Antara sandiwara dan perjalanan
Sebuah rasa penuh bumbu
Tetap... Sebuah definisi

Hanya tergambar di ruang vakum
Kebisuan pun adalah bahasa

23 Maret 2010, 01:15
~menapaki keheningan malam, ingin memejamkan mata meraih pandangan

Sabtu, 15 Mei 2010

Meracuni Detak Nadi

Oleh: Aira Antartika

Kala angin begitu halus mengusap raga dan jiwa
Ayunan langkah menjadi kaku dan membeku
Saat ranjau aktif diantara telapak kaki
Tubuh ini mulai diusap cuaca berkabut, menggigil

Aroma yang terendus begitu tajam
Di tengah kecamuk dua kutub
Tak dapat diinterpretasikan
Harumnya hawa Bvlgari Aqua
Atau sesak asap vulkanik Mahameru mematikan

Seakan mencekik nafas tersengal
Memang mencekik ribuan dendrit
Meracuni pandangan langit
Memenuhi ruang konsep peperangan

Siapakah provokator isu dalam darah?
Membuat mata tak bisa terpejam
Bukan karena dikawani sebatang rokok
Atau secangkir kopi menyusun blueprint

Seperti racun yang membunuh perlahan
Memberikan efek psikotropik
Menyiksa bukan dengan tajamnya pedang
Tapi bara logam yang dibakar
Ditempelkan tepat pada jantung

Candu...
Kejam...
Mengapa tak kau bunuh saja
Atau ingin kukatakan
Enyah...
Jauh...
Pergi...
Teriakan yang bukan sebenarnya
Racun! Racun! Racun!

30 Mei 2009
midnight

Bayang-bayang Semu

Oleh: Aira Antartika

Masih bersama angin berselimut dilema asa
Menatap masa dalam sunyi ruang hati
Diantara bisikan arah dan ucapan bisu
Terdampar di persimpangan terkujur tanpa kata

Setiap pijakan telapak kaki adalah persimpangan
Ini persimpangan yang lain dalam tema klasik
Antara terucap atau tetap menyayat syaraf tubuh
Bayang-bayang semu kembali hinggap dalam arteri

Lukisan itu begitu tampak bukan konsep
Tidak diantara nama-nama dalam catatan
Hanya sebuah bingkai berisi cahaya nyata
Selalu menggelayut dalam dendrit hitungan waktu

Jika sebentuk wujud saja dalam kotak terkunci
Jika angin berembus deras menghanyutkan jiwa
Jika sunyi mulai meninggalkanku tanpa pesan
Jika jalanan bebatuan rimba tak mau menyapa

Telak...
Menampar relung emosi yang gundah
Tak ada kicau burung-burung hutan
Tak ada sapa daun-daun belukar
Tak ada hangat naungan tenda dan dingin
Tak ada semangat ransel dan balaclava

Ta...
Apakah hitam atau putih?

Catatan hening di kala senja menghampiri

28 Mei 2009
pra midnight

Terjerat

Sesaat iklim membiru
Dari sambaran petir
Gulita...

Telaga memancarkan keruh
Dalam bingkai dilema
Berkabut...

Menunggu mentari terbit
Tanpa hitungan detik
Resah...

Nalar tercekik ekspresi
Di atas ranjau aktif
Terjerat...

Nuansa semakin hingar
Terjebak lagu sendiri
Sesal...

Hingga esok memandangi
Tetap telah kadung
Terjerat...

18 Februari 2010, 23:08
~menjadi dilema

Telak

Oleh: Aira Antartika

Aku heran dengan situasi
Aku heran dengan emosi
Aku heran dengan mimpi
Aku heran dengan ironi
Aku heran dengan simpati
Aku heran dengan hati

Begitu telak mendepakku
Heran...

28 Mei 2009
~singkat sebelum midnight

Galau

Kala kelopak mata tak mau memejamkan dirinya
Beribu bayangan masih saja bergelayut di alam kontemplasi
Berputar-putar seakan tak rela raga ini terlelap
Bahkan semua warna saling berpegangan membentuk lingkaran

Satu warna bernama tanggung jawab
Warna yang lain memperkenalkan dirinya sebagai: cita-cita, dilema sosial, cairan lambung, gubuk teduh, catatan intelektual, kupu-kupu, dan nama-nama yang selalu ingin dikenal dalam database jiwa

Entah mana yang harus disapa terlebih dahulu
Jika melihat dengan perspektif manusia usang
Karena semua merantai rasa seorang manusia
Seperti setiap manusia dengan mengabaikan sinar

Tetap saja jarum jam berdetik melaju ke kanan
Melahap masa dan usia, semakin bertambah
Tak kenal lelah, tak pernah peduli perkataan siapapun
Terus melaju tanpa ada yang menghalangi

Semakin bodoh, jika berharap seperti negeri imajinasi
Mampu menahan laju waktu untuk beberapa saat
Hingga dapat menyandarkan punggung rapuh pada batang pohon rimbun sambil menghela napas dengan perlahan
Lalu memejamkan mata sekejap saja
Membuang jauh galau yang bersemayam di urat nadi

Ada kalanya manusia -tanpa membedakan warna diri- seperti ini
Namun sinar tetap utuh dalam lentera abadi
Hanya ketika merasa galau

16 November 2009
23:53

Siapa?

Oleh: Aliva Wilda R
-untukmu Wiek

Hadir saat bintang berkelip dalam pekatnya malam
Ketika tangan-tangan menggenggam belati
Dalam ruang pendakian sejati
Masih mengayuh sampan putih, suci

Kau percikan pecahan-pecahan api
Tepat di pelupuk mata, nyata
Siapa?

Langkahmu pasti -satu arah
Bukan merangkak, bahkan terasa berlari
Merasuki haemoglobin
Apa?

Senandungmu terbakar warna
Meraba-raba lamunan
Menatapku tajam
Mengapa?

Bukankah lantunan lagu tentang waktu telah terang?
Egomu tak mau merebah

Haruskah menampar senyum itu?
Hendak lari? Berlarilah!

Mungkin... Aku hilang sejenak
Tetap bisa tertawa

- 4 Mei 2010, 00:00
'tak mampu lagi bermetafora'

Terjebak di Ruang Emosi

Diri terdefinisi oleh tiga warna
Lemah layaknya tanah tanpa substansi
Tautan persepsi bernama catatan dan situasi
Padu dalam kompetisi perkenalan makna
Hidup benarlah sebuah drama melodi
Mencari arti antara rasa dan etika
Dan waktu menjadi kawan setia atau musuh
Hingga gelap memperkenalkan dirinya; misteri

- 12 Mei 2010
~selepas sujud di pagi buta

Sebuah Kata "Bijak"

Alur cerita ibarat roman karya pengarang-pengarang klasik
Bagian-bagian kisah dirangkai secara kronologis
Sejak prolog hingga epilog, dramatis
Hanya dalam dunia fiksi; adakah realita?

Ketika warna pelangi mulai terlukis nyata
Selepas rintik gerimis di bawah awan kelabu
Bagai kupu-kupu dan bunga Kamboja
Melawan sengatan terik dan deras hujan

Semakin hanyut dan tenggelam
Dalam aliran Amazon -sisi hidup
...

Dedaunan padang savana, renungkanlah!
Kehidupan bukanlah karya sastra
Atau skenario layar lebar
Tetapi benar nyata; mungkin

Terkadang api tak membakar
Air tak membasahi
Timur menjadi barat, barat menjadi timur
Mungkin!!! Mungkin!!!

Jadilah bebatuan!
Tetap tunak meski kemarau, meski penghujan
Semakin bertambah
Memahami sebuah kata "bijak"

- 27 Januari 2010
~terlambat dua hari

Fatamorgana

Masih terjebak di bawah terik surya
Di hamparan gurun Ghobi
Panas membara hingga titik didih
Merasuk hingga ke alveolus

Terasa benar sisi manusia
Goyah, lemah oleh energi
Hingga tak mungkin luput
Karena begitulah tanah

Telapak kaki melepuh benar
Suhu terasa di atas 100 derajat celcius
Tak ada mineral, dehidrasi
Pandangan pudar, paradoks
Fatamorgana

Seperti di bawah pengaruh hipnosis
Melihat palsu gemintang
Fatamorgana

Jangan hanyut
Tak ingin tenggelam
Tetap berjalan di atas air
Hiraukan
Fatamorgana

- 2 Oktober 2009, 05:00
~kembali bertanya

Jumat, 14 Mei 2010

Hilang

Alur memang cepat berubah
Seiring berputarnya jarum jam
Bagai angin tepi pantai
Bias

Saat bernama Aku
Tak peduli badai menggoncang
Singa mengaum buas
Hanya nyanyian sumbing

Alur memang cepat berubah
Seiring berputarnya jarum jam
Bagai lilin dalam gelap
Leleh

Aroma yang dahulu pasi
Membius waktu
Seiring berputarnya jarum jam
Nyata

Menggumpal memadati arteri
Membeku kaku
Merusak mimpi
Menggoyahkan indera keenam
Luntur
Hilang
Kembali

- 1 Oktober 2009, 23:31
~ miris dengan kenyataan