kata mereka: tubuh
kata mereka: paras
kata mereka: tutur
kata mereka: rasa
kata mereka: satu sayap
hanya lirih mengukir arti
19 Mei 2010
Ketika langit tak mampu diraih, bumi tak dapat dipijak, rangkaian diksi menjadi saksi...
Kamis, 27 Mei 2010
Sebuah Tanya
apa arti waktu, ruang, rasa, renung, dan nilai?
terkadang udara ini drama
semestinya di layar lebar
tapi menjelma di alur nyata
musnah: mustahil
kalah: bunuh diri
lalu?
ah...
hanya takdir
tapi apakah takdir?
20 Mei 2010
terkadang udara ini drama
semestinya di layar lebar
tapi menjelma di alur nyata
musnah: mustahil
kalah: bunuh diri
lalu?
ah...
hanya takdir
tapi apakah takdir?
20 Mei 2010
Rindu Ilalang
masih berdesis liris
berpagut hampa
dalam pakau
hanya aku dan lamunan
cengkrama pasi
berjelaga lirik
kesah
hijau dalam pejam
pudar dalam terang
redup berlalu
gemercak syahdu
mata air
basuh kalut
luruh sudah
rindu ilalang
berjelapak sepi
26 Mei 2010
berpagut hampa
dalam pakau
hanya aku dan lamunan
cengkrama pasi
berjelaga lirik
kesah
hijau dalam pejam
pudar dalam terang
redup berlalu
gemercak syahdu
mata air
basuh kalut
luruh sudah
rindu ilalang
berjelapak sepi
26 Mei 2010
Merpati
sangkar emas harum membiru
merpati merunduk kaku
paruhnya lekat
kering terasing
dari kawanan
terbang
sayap-sayap mengepak lepas
merpati pun bertasbih
20 Mei 2010
merpati merunduk kaku
paruhnya lekat
kering terasing
dari kawanan
terbang
sayap-sayap mengepak lepas
merpati pun bertasbih
20 Mei 2010
Tiba
aku dan waktu kembali bertemu dalam perjalanan
taman belukar adalah tempatku berpijak
hari ini dan esok
sampai raga luluh di ruang vakum
duniaku yang lalu mulai membelakangi
melambaikan tanggal-tanggal berlalu
menatap sedu seakan menjauh, tak kembali
kini pesawat telah mengangkat tangganya
terangkat dari landasannya, perlahan
menuju bandara lain dalam tanah pendakian
dunia baru
ku tinggalkan wajah-wajah itu, nafas-nafas itu
untuk membenarkan jiwa ini
janji
ini saatnya
tiba...!
20 Februari 2010, 10:55
taman belukar adalah tempatku berpijak
hari ini dan esok
sampai raga luluh di ruang vakum
duniaku yang lalu mulai membelakangi
melambaikan tanggal-tanggal berlalu
menatap sedu seakan menjauh, tak kembali
kini pesawat telah mengangkat tangganya
terangkat dari landasannya, perlahan
menuju bandara lain dalam tanah pendakian
dunia baru
ku tinggalkan wajah-wajah itu, nafas-nafas itu
untuk membenarkan jiwa ini
janji
ini saatnya
tiba...!
20 Februari 2010, 10:55
Dengan Waktu
ini adalah roda kembara
aku satu gerigi
biar terkarat
waktu itu segera
membongkar dimensi ruang
biar sesak
tak pernah terhenti
karena alur begitu
biar perlahan
dalam nuansa kemarin
menjajaki tanah yang baru
akhirnya terang
hari ini jadi esok
tak usah pakai arloji
hanya jiwa
18 Februari 2010, 23:28
aku satu gerigi
biar terkarat
waktu itu segera
membongkar dimensi ruang
biar sesak
tak pernah terhenti
karena alur begitu
biar perlahan
dalam nuansa kemarin
menjajaki tanah yang baru
akhirnya terang
hari ini jadi esok
tak usah pakai arloji
hanya jiwa
18 Februari 2010, 23:28
Sabtu, 22 Mei 2010
Renung
: I. S.
enyah saja lamunan...!
jika menggores nadi
menghanyutkan rasa
membius renung
bukit masih hijau melambai
tanahnya masih licin
semak berduri masih lebat
curug masih berdesau
kawah masih bergolak
puncak masih tegap berdiri
payau tak usah dirasa
meski muara antara laut dan sungai
kita pendaki
tak ingin rebah oleh hujan
berlutut oleh tebing
ditelan jurang
jejaki terjal
atau mati oleh rimba
20 Mei 2010
enyah saja lamunan...!
jika menggores nadi
menghanyutkan rasa
membius renung
bukit masih hijau melambai
tanahnya masih licin
semak berduri masih lebat
curug masih berdesau
kawah masih bergolak
puncak masih tegap berdiri
payau tak usah dirasa
meski muara antara laut dan sungai
kita pendaki
tak ingin rebah oleh hujan
berlutut oleh tebing
ditelan jurang
jejaki terjal
atau mati oleh rimba
20 Mei 2010
Arti
diramu usia ku larut
diwarna alur ku hanyut
disimpul ruang ku taut
didihlah jiwa
nyatalah teguh
hiduplah
18 Mei 2010
diwarna alur ku hanyut
disimpul ruang ku taut
didihlah jiwa
nyatalah teguh
hiduplah
18 Mei 2010
Minggu, 16 Mei 2010
Berkawan Dengan Waktu
Oleh: Aliva Wilda R
: untuk Wiek
Angin dunia berhembus dalam detik-detik nafas
Tak pernah jemu warnai kedua bola mata
Terkadang hitam legam sampai tak lagi menatap
Atau sekedar gores-gores kelabu layaknya kabut
Raga dan rasa memang benar adanya
Alami seperti Edelweiss di Suryakencana
Begitulah catatan roman para pujangga
Meski mencoba berlari tetap saja sedekat udara
Oh... Jika hanyut bersama hembusan itu
Dimanakah bait-bait nilai selama ini?
Bukankah waktu pun telah menjadi catatan?
Atau hanya sekedar nostalgia belaka
Waktu; kenalilah lebih dekat, lebih akrab!
Memberikan makna tak hanya cerita orang
Menyimpan rahasia tentang ‘sesuatu’. Pasti!
Temukanlah! Bukan di angan-angan, nyata-realita
Bukankah nilai bersama waktu, erat...?
Berkawanlah dengan waktu!
Bersama sinar yang selama ini menerangi
Meski tak seorangpun merasakan hangatnya
Kelak... Akan bertemu pada satu titik
Orang bijak berkata: ‘hakikat-nilai’
13 Mei 2010, 21:00
~jika saja sampai di tanganmu
: untuk Wiek
Angin dunia berhembus dalam detik-detik nafas
Tak pernah jemu warnai kedua bola mata
Terkadang hitam legam sampai tak lagi menatap
Atau sekedar gores-gores kelabu layaknya kabut
Raga dan rasa memang benar adanya
Alami seperti Edelweiss di Suryakencana
Begitulah catatan roman para pujangga
Meski mencoba berlari tetap saja sedekat udara
Oh... Jika hanyut bersama hembusan itu
Dimanakah bait-bait nilai selama ini?
Bukankah waktu pun telah menjadi catatan?
Atau hanya sekedar nostalgia belaka
Waktu; kenalilah lebih dekat, lebih akrab!
Memberikan makna tak hanya cerita orang
Menyimpan rahasia tentang ‘sesuatu’. Pasti!
Temukanlah! Bukan di angan-angan, nyata-realita
Bukankah nilai bersama waktu, erat...?
Berkawanlah dengan waktu!
Bersama sinar yang selama ini menerangi
Meski tak seorangpun merasakan hangatnya
Kelak... Akan bertemu pada satu titik
Orang bijak berkata: ‘hakikat-nilai’
13 Mei 2010, 21:00
~jika saja sampai di tanganmu
Sebuah Nama, Semakin Bodoh
Oleh: Aliva Wilda R
Rasa bagai gerimis
Hinggap bagai lebah
Manis atau sengatan
Padu...
Waktu adalah catatan
Tersimpan rapat dalam rekaman
Bukan sebatang rokok
Hilang...
Raga tetaplah raga
Emosi tetaplah emosi
Sisi manusiawi
Kental...
Menjadi parasit dalam darah
Menghitam, kaburkan merah
Sekali ini. Tak pernah ada
Siapa? Mengapa? Bagaimana?
Selalu...
Semakin bodoh
Sebuah nama: Marsha
29 Maret 2010, 00:33
~sebuah pertanyaan, siapa?
Rasa bagai gerimis
Hinggap bagai lebah
Manis atau sengatan
Padu...
Waktu adalah catatan
Tersimpan rapat dalam rekaman
Bukan sebatang rokok
Hilang...
Raga tetaplah raga
Emosi tetaplah emosi
Sisi manusiawi
Kental...
Menjadi parasit dalam darah
Menghitam, kaburkan merah
Sekali ini. Tak pernah ada
Siapa? Mengapa? Bagaimana?
Selalu...
Semakin bodoh
Sebuah nama: Marsha
29 Maret 2010, 00:33
~sebuah pertanyaan, siapa?
Terbakar di Pagi Buta
Alam ini penuh misteri, antara rasio probabilitas dan kausalitas
Hukum thermodinamika tetap berlaku, begitu pula imajinasi
Raga memang berpijak di atas permukaan nyata, kasar-statis
Jiwa tetap larut bersama angin dan desiran ombak rendah
Bulan memang terbit saat senja memulai episodenya
Hilang, saat fajar mulai berdenting layaknya agenda harian
Datanglah mentari dengan sorotan nyata dan kokoh
Mewarnai gulita mencekam dalam laju gerak langkah
Waktu tak kalah misterius, datang dan pergi kapanpun
Bahkan saat aroma tak seharum mawar yang baru merekah
Angin kayangan berembus mendekat, menghampiri ruang renung
Tak terbantahkan layaknya sebuah postulat bahkan undang-undang
Tak sekedar melukiskan imaji, membingkai seperti lukisan dinding
Saat hujan bergemericik tanda gerimis
Embun pun masih saling merangkul bersama ilalang
Udara belum beranjak hangat, masih berkawan kabut
Tapi emosi terlanjur terbakar angin kayangan
Tak mampu dipadamkan oleh sekedar percikan air
Semakin menyatu bagai terdapat kovalensi
Menjadi gusar dalam dunia statistika dan matematika
Tak tentu arah
Terbakar di pagi buta
9 Januari 2010, 22:31
‘tak terkhayalkan sebelumnya’
Hukum thermodinamika tetap berlaku, begitu pula imajinasi
Raga memang berpijak di atas permukaan nyata, kasar-statis
Jiwa tetap larut bersama angin dan desiran ombak rendah
Bulan memang terbit saat senja memulai episodenya
Hilang, saat fajar mulai berdenting layaknya agenda harian
Datanglah mentari dengan sorotan nyata dan kokoh
Mewarnai gulita mencekam dalam laju gerak langkah
Waktu tak kalah misterius, datang dan pergi kapanpun
Bahkan saat aroma tak seharum mawar yang baru merekah
Angin kayangan berembus mendekat, menghampiri ruang renung
Tak terbantahkan layaknya sebuah postulat bahkan undang-undang
Tak sekedar melukiskan imaji, membingkai seperti lukisan dinding
Saat hujan bergemericik tanda gerimis
Embun pun masih saling merangkul bersama ilalang
Udara belum beranjak hangat, masih berkawan kabut
Tapi emosi terlanjur terbakar angin kayangan
Tak mampu dipadamkan oleh sekedar percikan air
Semakin menyatu bagai terdapat kovalensi
Menjadi gusar dalam dunia statistika dan matematika
Tak tentu arah
Terbakar di pagi buta
9 Januari 2010, 22:31
‘tak terkhayalkan sebelumnya’
Suara Langit, Senandung Bumi
Oleh: Aliva Wilda R
Langkah layu mengiringi laju waktu, terasa melambat-merenggang
Angka-angka jam dinding mulai bernyanyi, kata demi kata
Jarak tak lagi menampakkan definisinya
Karena kicau tak hanya menjelang malam
Selalu...
Teriakanmu semakin bergema hingga tak ada lagi ruang
Menjerat mati semua suara, erat menyimpul beku
Rayumu semakin nyata hingga tak ada lagi warna
Memaksa darah ini menjadi hitam mengental
Klimaks sudah senandungmu, ego saja
Dan aku kaku, gemetar
Tak ingatkah arti waktu, ruang, menunggu?
Dan aku terpojok di sudut bisu
Sadarkah?
Awan berada diantara tanah dan langit
Senandungmu hipnosis
Namun suara langit gelegar petir
Aku masih bisu antara bumi dan langit
Gravitasi dan kepakan sayap
Bermainlah dengan waktu!
Larut...
Kelak kau temukan!
Ini dariku
4 Mei 2010, 23:33
~semakin kusut
Langkah layu mengiringi laju waktu, terasa melambat-merenggang
Angka-angka jam dinding mulai bernyanyi, kata demi kata
Jarak tak lagi menampakkan definisinya
Karena kicau tak hanya menjelang malam
Selalu...
Teriakanmu semakin bergema hingga tak ada lagi ruang
Menjerat mati semua suara, erat menyimpul beku
Rayumu semakin nyata hingga tak ada lagi warna
Memaksa darah ini menjadi hitam mengental
Klimaks sudah senandungmu, ego saja
Dan aku kaku, gemetar
Tak ingatkah arti waktu, ruang, menunggu?
Dan aku terpojok di sudut bisu
Sadarkah?
Awan berada diantara tanah dan langit
Senandungmu hipnosis
Namun suara langit gelegar petir
Aku masih bisu antara bumi dan langit
Gravitasi dan kepakan sayap
Bermainlah dengan waktu!
Larut...
Kelak kau temukan!
Ini dariku
4 Mei 2010, 23:33
~semakin kusut
Angin pun Berhembus, Menanti Hujan
Di bawah terik mentari tergopoh layu sambil tetap berjalan
Dua kaki dirantai dengan material platinum bersuhu di atas 6000
Kedua mata diselimuti warna biru mengaburkan pandangan
Alam pun bak fatamorgana, terbius rasa
Kutilang tak berhenti berkicau
Memenuhi sudut telinga
Menari-nari, berputar-putar di atas kepala
Namun tetap terbakar terik mentari
Dalam ruang sempit mencoba terasing
Menahan laju emosi yang kian merasuk
Menjadi buta dan tuli, hilang
Tetap menggigil oleh angin suhu rendah
Selalu berhembus menembus dimensi ruang
Angin pun berhembus, menanti hujan
Musim menampakkan arahnya
Sambil menunggu habis kemarau
Dimensi lain kehidupan membatasi langkah
Dapatkah tetap tegak melawan waktu
Atau hilang menuju rimba
Merangkai bivak, duduk tersila
Memegang sebatang rokok
Menyandarkan lelah perjalanan
Ya... Kelemahan jiwa
Selalu menjadi hantu
Menjebak dalam jerat
Meski angin berhembus, menanti hujan
29 Januari 2010, 02:10
Dua kaki dirantai dengan material platinum bersuhu di atas 6000
Kedua mata diselimuti warna biru mengaburkan pandangan
Alam pun bak fatamorgana, terbius rasa
Kutilang tak berhenti berkicau
Memenuhi sudut telinga
Menari-nari, berputar-putar di atas kepala
Namun tetap terbakar terik mentari
Dalam ruang sempit mencoba terasing
Menahan laju emosi yang kian merasuk
Menjadi buta dan tuli, hilang
Tetap menggigil oleh angin suhu rendah
Selalu berhembus menembus dimensi ruang
Angin pun berhembus, menanti hujan
Musim menampakkan arahnya
Sambil menunggu habis kemarau
Dimensi lain kehidupan membatasi langkah
Dapatkah tetap tegak melawan waktu
Atau hilang menuju rimba
Merangkai bivak, duduk tersila
Memegang sebatang rokok
Menyandarkan lelah perjalanan
Ya... Kelemahan jiwa
Selalu menjadi hantu
Menjebak dalam jerat
Meski angin berhembus, menanti hujan
29 Januari 2010, 02:10
Sindrom Alexandria
Di tengah Sahara terbakar terik surya, jingga
Melangkah bersama dahaga memegang tongkat Cendana
Selalu ditancapkan dalam setiap derap menjejak
Mencari sebongkah oase mencair melumuri kerongkongan
Namun di negeri Mesir, dan ini masih di Mesir
Di antara rekaman-rekaman dokumentasi sejarah
Kumpulan piramida tetap memukau pelancong kesan
Patung Sphinx masih menjadi kohesi tak terbantahkan
Dan ia pejalan kaki di padang gurun –masih di Mesir
Tatapannya selalu terbentur fatamorgana sebentuk Niagara
Yang dahulu terbentang laut merah menjadi demarkasi
Hanya sebatas hembusan angin senja ketika punggung bersandar
Ini dunia waktu dan dimensi, bukan fiksi dari khayalan
Angin tak pernah berhenti menari, sekalipun iklim berotasi
Menggiring ombak tawar dan laut bermuara mendekat. Payau
Ia benar-benar berada di Mesir, tempat piramida itu
Dimensi ini bukan cuplikan dalam tidur –yang menghilang
Tetapi nyata teraba oleh indra dan benar kohesif
Seperti berada di Malang dalam sebuah pendakian terencana
Dunia rimba, dunia Semeru dalam agenda petualangan
Dan ia bagai mengenakan wind breaker menggenggam veldplest
Bahkan ia masih berada di Mesir, di tengah Sahara
Aroma Semeru begitu semerbak benar-benar nyata
Bahkan di atas pasir vulkanik puncak Mahameru
Akhir pendakian pulau Jawa, menunggu sunrise
Ingat! Waktu hanya sampai sepenggalahan
Atau kepulan asap sulfur meracuni haemoglobin
Lalu... Mati. Mati Soe Hook Gie
Masihkah ia pejamkan mata, rapatkan bibir
Sedang ia masih berada di Mesir
24 September 2009
Melangkah bersama dahaga memegang tongkat Cendana
Selalu ditancapkan dalam setiap derap menjejak
Mencari sebongkah oase mencair melumuri kerongkongan
Namun di negeri Mesir, dan ini masih di Mesir
Di antara rekaman-rekaman dokumentasi sejarah
Kumpulan piramida tetap memukau pelancong kesan
Patung Sphinx masih menjadi kohesi tak terbantahkan
Dan ia pejalan kaki di padang gurun –masih di Mesir
Tatapannya selalu terbentur fatamorgana sebentuk Niagara
Yang dahulu terbentang laut merah menjadi demarkasi
Hanya sebatas hembusan angin senja ketika punggung bersandar
Ini dunia waktu dan dimensi, bukan fiksi dari khayalan
Angin tak pernah berhenti menari, sekalipun iklim berotasi
Menggiring ombak tawar dan laut bermuara mendekat. Payau
Ia benar-benar berada di Mesir, tempat piramida itu
Dimensi ini bukan cuplikan dalam tidur –yang menghilang
Tetapi nyata teraba oleh indra dan benar kohesif
Seperti berada di Malang dalam sebuah pendakian terencana
Dunia rimba, dunia Semeru dalam agenda petualangan
Dan ia bagai mengenakan wind breaker menggenggam veldplest
Bahkan ia masih berada di Mesir, di tengah Sahara
Aroma Semeru begitu semerbak benar-benar nyata
Bahkan di atas pasir vulkanik puncak Mahameru
Akhir pendakian pulau Jawa, menunggu sunrise
Ingat! Waktu hanya sampai sepenggalahan
Atau kepulan asap sulfur meracuni haemoglobin
Lalu... Mati. Mati Soe Hook Gie
Masihkah ia pejamkan mata, rapatkan bibir
Sedang ia masih berada di Mesir
24 September 2009
Titik Triangulasi
Ketika kepulan asap menghitam
Memenuhi ruang renung sudut jiwa
Berputar-putar mencari celah
Melepas kemelut dua warna
Panorama hijau terbentang nyata
Membuka nyanyian yang lalu
Dimana aku tertegun sunyi
Menikmati kontemplasi bahasa diri
Hingga semakin dekat
Dipacu hasrat naluri
Kenyataan identitas
Seorang penjelajah rimba
Tamanku tempat menaruh cerita
Belukar sahabat lama
Tebing terjal penopang semangat
Vegetasi liar tak tergantikan
Terlalu lama tak menyapa
Seakan tak pernah bertatap
Hilang dalam situasi
Hanyut bersama darah perjalanan
Esok... Aku datang
Burangrang. Di titik triangulasi
29 September 2009, 00:27
‘taman jiwa, kusapa engkau kali ini’
Memenuhi ruang renung sudut jiwa
Berputar-putar mencari celah
Melepas kemelut dua warna
Panorama hijau terbentang nyata
Membuka nyanyian yang lalu
Dimana aku tertegun sunyi
Menikmati kontemplasi bahasa diri
Hingga semakin dekat
Dipacu hasrat naluri
Kenyataan identitas
Seorang penjelajah rimba
Tamanku tempat menaruh cerita
Belukar sahabat lama
Tebing terjal penopang semangat
Vegetasi liar tak tergantikan
Terlalu lama tak menyapa
Seakan tak pernah bertatap
Hilang dalam situasi
Hanyut bersama darah perjalanan
Esok... Aku datang
Burangrang. Di titik triangulasi
29 September 2009, 00:27
‘taman jiwa, kusapa engkau kali ini’
Antara Merah dan Hijau
Pagi ini embun bergelayut di ujung-ujung ilalang
Setelah tersapu oleh kata-kata sepanjang malam
Mulai menyejukkan setiap helai rambut kering
Sesejuk Telaga Biru di kala jarum jam mulai berputar
Malam-malam yang lalu tak mampu memejamkan mata
Hanya monolog memenuhi hipotesa-hipotesa subjektif
Membara, walau tak pernahtahu di mana ada api
Membeku, walau suhu bukan nol derajat celsius
Sepasang mata yang lain berkedip-kedip di hadapan
Meneropong arah mata angin dalam perspektif kompas
Aku memandangi laju jarum kompas
Bergoyang-goyang menunjuk dua kutub, utara-selatan
Alibi-alibi berkomentar dari berbagai penjuru
Tak sekedar hitam dan putih
Melukiskan warna-warni pelangi selepas rintik gerimis
Logika semakin berputar-putar mencari lembah
Di mana Suryakencana?
Di mana Mandalawangi?
Tetapi drama teatrikal menjadi percakapan
Menyimpulkan informasi-informasi investigasi
Semakin nampak menghijau
Meski diantara merah dan hijau
1 Oktober 2009, 08:12
‘memacu langkah’
Setelah tersapu oleh kata-kata sepanjang malam
Mulai menyejukkan setiap helai rambut kering
Sesejuk Telaga Biru di kala jarum jam mulai berputar
Malam-malam yang lalu tak mampu memejamkan mata
Hanya monolog memenuhi hipotesa-hipotesa subjektif
Membara, walau tak pernahtahu di mana ada api
Membeku, walau suhu bukan nol derajat celsius
Sepasang mata yang lain berkedip-kedip di hadapan
Meneropong arah mata angin dalam perspektif kompas
Aku memandangi laju jarum kompas
Bergoyang-goyang menunjuk dua kutub, utara-selatan
Alibi-alibi berkomentar dari berbagai penjuru
Tak sekedar hitam dan putih
Melukiskan warna-warni pelangi selepas rintik gerimis
Logika semakin berputar-putar mencari lembah
Di mana Suryakencana?
Di mana Mandalawangi?
Tetapi drama teatrikal menjadi percakapan
Menyimpulkan informasi-informasi investigasi
Semakin nampak menghijau
Meski diantara merah dan hijau
1 Oktober 2009, 08:12
‘memacu langkah’
Pertanyaan-pertanyaan
Manusia bernapas, bernyawa, dan selalu menyulam logika
Bercampur padu dengan dorongan-dorongan emosi
Semua terhimpun dalam ruang kecil seluas langit tak berujung
Terkadang menjadi tantangan teka-teki, juga sekedar berwujud penat
Layaknya jiwa, alampun hidup. Berputar menari-nari bersama wujud
Demikian juga waktu, ruang, peristiwa, dan informasi komunikasi
Selalu melantunkan melodi situasi dalam setiap momen terbentuk
Menghembuskan milyaran suara dan nada-nada terangkai
Harmoni ketukan not angka selalu menjadi nyanyian
Berbentuk lagu yang berdansa hingga ujung telinga
Merasuk ke dalam ruang sempit bernama logika
Bersintesis menjadi sketsa pertanyaan-pertanyaan
Hingga...
Bernama informasi yang menjadi cerita non fiksi
Cerita mereka, entah di mana sumber cerita itu
Apakah angin lembah telah berhembus?
Apakah iklim rimba sama terasa sejuk?
Apakah rerumputan seperti kupu-kupu gemar menari?
Apakah cerita itu berdialog, berkonduksi kerabat dekat?
Dan menyimpul kusut dalam logika
Menjadi pertanyaan-pertanyaan
Semoga saja!
27 September 2009, 22:55
Bercampur padu dengan dorongan-dorongan emosi
Semua terhimpun dalam ruang kecil seluas langit tak berujung
Terkadang menjadi tantangan teka-teki, juga sekedar berwujud penat
Layaknya jiwa, alampun hidup. Berputar menari-nari bersama wujud
Demikian juga waktu, ruang, peristiwa, dan informasi komunikasi
Selalu melantunkan melodi situasi dalam setiap momen terbentuk
Menghembuskan milyaran suara dan nada-nada terangkai
Harmoni ketukan not angka selalu menjadi nyanyian
Berbentuk lagu yang berdansa hingga ujung telinga
Merasuk ke dalam ruang sempit bernama logika
Bersintesis menjadi sketsa pertanyaan-pertanyaan
Hingga...
Bernama informasi yang menjadi cerita non fiksi
Cerita mereka, entah di mana sumber cerita itu
Apakah angin lembah telah berhembus?
Apakah iklim rimba sama terasa sejuk?
Apakah rerumputan seperti kupu-kupu gemar menari?
Apakah cerita itu berdialog, berkonduksi kerabat dekat?
Dan menyimpul kusut dalam logika
Menjadi pertanyaan-pertanyaan
Semoga saja!
27 September 2009, 22:55
Pesona dan Sinar
Dilema kontradiktif dalam lingkaran pertanyaan
Meniupkan aroma warna-warni
Dingin membeku bagai kutub Antartika
Membakar epidermis di tengah medan Sahara
Kompleksitas antagonis-protagonis membaur
Meremas-remas sistem limbik
Hingga mengundang adrenalin walau terasa hiperbolik
Indah, miris senandung semu kehidupan
Istana megah imperium berdinding platinum
Tak goyah oleh Elnino sekalipun
Bahkan getaran tektonik radikal sporadis
Mungkin fiksi tetapi memang dokumenter
Terkadang lukisan anggrek di tepi tebing
Mungkin butir-butir padi di tengah ladang
Bahkan mahkota bermata kristal
Bukankah darah lebih baik mengucur?
Kerlap-kerlip lampu disco
Hingar-bingar taman hiburan
Alun sejuk iklim bukit
Gerigi tebing terjal berduri
Gentayangan dalam elastisitas nyawa
Persepsi multi-influen
Di mana aku berpijak?
15 Juni 2009, 01:00
Meniupkan aroma warna-warni
Dingin membeku bagai kutub Antartika
Membakar epidermis di tengah medan Sahara
Kompleksitas antagonis-protagonis membaur
Meremas-remas sistem limbik
Hingga mengundang adrenalin walau terasa hiperbolik
Indah, miris senandung semu kehidupan
Istana megah imperium berdinding platinum
Tak goyah oleh Elnino sekalipun
Bahkan getaran tektonik radikal sporadis
Mungkin fiksi tetapi memang dokumenter
Terkadang lukisan anggrek di tepi tebing
Mungkin butir-butir padi di tengah ladang
Bahkan mahkota bermata kristal
Bukankah darah lebih baik mengucur?
Kerlap-kerlip lampu disco
Hingar-bingar taman hiburan
Alun sejuk iklim bukit
Gerigi tebing terjal berduri
Gentayangan dalam elastisitas nyawa
Persepsi multi-influen
Di mana aku berpijak?
15 Juni 2009, 01:00
Sempat Hadir
Batas graduasi telah dihantam keping baja
Letupan-letupan reaksi oksidasi dalam bejana vakum
Klimaks sudah...
Sedang, membisu menghela halus di pertapaan
Menjadi gaduh, mengurai renungan-renungan
Benar-benar seorang diri
Padang ilalang bersama fauna rimba di hadapan selaput realita
Bukan perbukitan tempat tenda-tenda terpancang
Tanah merah...
Raga tak dapat lagi dilukiskan dalam sinema
Menyisakan maya yang sempit, gulita memang
Dunia monolog, dunia egosentris
Sepi...
Saat sekejap terlelap dalam sapaan
Byte-byte memori tanpa elektron
Sebuah desain itu tergambar
Benar, bukan coretan abstrak
Mungkin dan memang benar!!! Teridentifikasi
Perdana dalam momentum hampa
Semakin bosan, kesat, traumatik
Belenggu klasik yang menyimpul erat
Memojokkan emosi hingga mendesak nalar matematika, berontak!!!
Menginginkan restorasi: seorang prajurit
15 Maret 2010, 22:30
~kedatangan pertama di ruang malaikat dan setan bertaruh, ‘bawah sadar’
Letupan-letupan reaksi oksidasi dalam bejana vakum
Klimaks sudah...
Sedang, membisu menghela halus di pertapaan
Menjadi gaduh, mengurai renungan-renungan
Benar-benar seorang diri
Padang ilalang bersama fauna rimba di hadapan selaput realita
Bukan perbukitan tempat tenda-tenda terpancang
Tanah merah...
Raga tak dapat lagi dilukiskan dalam sinema
Menyisakan maya yang sempit, gulita memang
Dunia monolog, dunia egosentris
Sepi...
Saat sekejap terlelap dalam sapaan
Byte-byte memori tanpa elektron
Sebuah desain itu tergambar
Benar, bukan coretan abstrak
Mungkin dan memang benar!!! Teridentifikasi
Perdana dalam momentum hampa
Semakin bosan, kesat, traumatik
Belenggu klasik yang menyimpul erat
Memojokkan emosi hingga mendesak nalar matematika, berontak!!!
Menginginkan restorasi: seorang prajurit
15 Maret 2010, 22:30
~kedatangan pertama di ruang malaikat dan setan bertaruh, ‘bawah sadar’
Memejamkan Mata
Dalam perputaran gerigi-gerigi
Mestinya larut dengan jiwa
Menghijau...
Nafas ini tetap ketar-ketir
Membusuk dalam darah
Menjadi lebam dalam bisu
Hembusan angin bukit kuhirup perlahan
Butir-butir embun kuraba dengan lembut
Sambil memejamkan mata
Berjalan di atas jembatan semedi
Tapi angin tetaplah angin
Hembusannya adalah drama
Di sana menggema ratusan kilometer
Aku terpuruk dalam kebisuan
Bagai memutus nafas diafragma
Antara sandiwara dan perjalanan
Sebuah rasa penuh bumbu
Tetap... Sebuah definisi
Hanya tergambar di ruang vakum
Kebisuan pun adalah bahasa
23 Maret 2010, 01:15
~menapaki keheningan malam, ingin memejamkan mata meraih pandangan
Mestinya larut dengan jiwa
Menghijau...
Nafas ini tetap ketar-ketir
Membusuk dalam darah
Menjadi lebam dalam bisu
Hembusan angin bukit kuhirup perlahan
Butir-butir embun kuraba dengan lembut
Sambil memejamkan mata
Berjalan di atas jembatan semedi
Tapi angin tetaplah angin
Hembusannya adalah drama
Di sana menggema ratusan kilometer
Aku terpuruk dalam kebisuan
Bagai memutus nafas diafragma
Antara sandiwara dan perjalanan
Sebuah rasa penuh bumbu
Tetap... Sebuah definisi
Hanya tergambar di ruang vakum
Kebisuan pun adalah bahasa
23 Maret 2010, 01:15
~menapaki keheningan malam, ingin memejamkan mata meraih pandangan
Sabtu, 15 Mei 2010
Meracuni Detak Nadi
Oleh: Aira Antartika
Kala angin begitu halus mengusap raga dan jiwa
Ayunan langkah menjadi kaku dan membeku
Saat ranjau aktif diantara telapak kaki
Tubuh ini mulai diusap cuaca berkabut, menggigil
Aroma yang terendus begitu tajam
Di tengah kecamuk dua kutub
Tak dapat diinterpretasikan
Harumnya hawa Bvlgari Aqua
Atau sesak asap vulkanik Mahameru mematikan
Seakan mencekik nafas tersengal
Memang mencekik ribuan dendrit
Meracuni pandangan langit
Memenuhi ruang konsep peperangan
Siapakah provokator isu dalam darah?
Membuat mata tak bisa terpejam
Bukan karena dikawani sebatang rokok
Atau secangkir kopi menyusun blueprint
Seperti racun yang membunuh perlahan
Memberikan efek psikotropik
Menyiksa bukan dengan tajamnya pedang
Tapi bara logam yang dibakar
Ditempelkan tepat pada jantung
Candu...
Kejam...
Mengapa tak kau bunuh saja
Atau ingin kukatakan
Enyah...
Jauh...
Pergi...
Teriakan yang bukan sebenarnya
Racun! Racun! Racun!
30 Mei 2009
midnight
Kala angin begitu halus mengusap raga dan jiwa
Ayunan langkah menjadi kaku dan membeku
Saat ranjau aktif diantara telapak kaki
Tubuh ini mulai diusap cuaca berkabut, menggigil
Aroma yang terendus begitu tajam
Di tengah kecamuk dua kutub
Tak dapat diinterpretasikan
Harumnya hawa Bvlgari Aqua
Atau sesak asap vulkanik Mahameru mematikan
Seakan mencekik nafas tersengal
Memang mencekik ribuan dendrit
Meracuni pandangan langit
Memenuhi ruang konsep peperangan
Siapakah provokator isu dalam darah?
Membuat mata tak bisa terpejam
Bukan karena dikawani sebatang rokok
Atau secangkir kopi menyusun blueprint
Seperti racun yang membunuh perlahan
Memberikan efek psikotropik
Menyiksa bukan dengan tajamnya pedang
Tapi bara logam yang dibakar
Ditempelkan tepat pada jantung
Candu...
Kejam...
Mengapa tak kau bunuh saja
Atau ingin kukatakan
Enyah...
Jauh...
Pergi...
Teriakan yang bukan sebenarnya
Racun! Racun! Racun!
30 Mei 2009
midnight
Bayang-bayang Semu
Oleh: Aira Antartika
Masih bersama angin berselimut dilema asa
Menatap masa dalam sunyi ruang hati
Diantara bisikan arah dan ucapan bisu
Terdampar di persimpangan terkujur tanpa kata
Setiap pijakan telapak kaki adalah persimpangan
Ini persimpangan yang lain dalam tema klasik
Antara terucap atau tetap menyayat syaraf tubuh
Bayang-bayang semu kembali hinggap dalam arteri
Lukisan itu begitu tampak bukan konsep
Tidak diantara nama-nama dalam catatan
Hanya sebuah bingkai berisi cahaya nyata
Selalu menggelayut dalam dendrit hitungan waktu
Jika sebentuk wujud saja dalam kotak terkunci
Jika angin berembus deras menghanyutkan jiwa
Jika sunyi mulai meninggalkanku tanpa pesan
Jika jalanan bebatuan rimba tak mau menyapa
Telak...
Menampar relung emosi yang gundah
Tak ada kicau burung-burung hutan
Tak ada sapa daun-daun belukar
Tak ada hangat naungan tenda dan dingin
Tak ada semangat ransel dan balaclava
Ta...
Apakah hitam atau putih?
Catatan hening di kala senja menghampiri
28 Mei 2009
pra midnight
Masih bersama angin berselimut dilema asa
Menatap masa dalam sunyi ruang hati
Diantara bisikan arah dan ucapan bisu
Terdampar di persimpangan terkujur tanpa kata
Setiap pijakan telapak kaki adalah persimpangan
Ini persimpangan yang lain dalam tema klasik
Antara terucap atau tetap menyayat syaraf tubuh
Bayang-bayang semu kembali hinggap dalam arteri
Lukisan itu begitu tampak bukan konsep
Tidak diantara nama-nama dalam catatan
Hanya sebuah bingkai berisi cahaya nyata
Selalu menggelayut dalam dendrit hitungan waktu
Jika sebentuk wujud saja dalam kotak terkunci
Jika angin berembus deras menghanyutkan jiwa
Jika sunyi mulai meninggalkanku tanpa pesan
Jika jalanan bebatuan rimba tak mau menyapa
Telak...
Menampar relung emosi yang gundah
Tak ada kicau burung-burung hutan
Tak ada sapa daun-daun belukar
Tak ada hangat naungan tenda dan dingin
Tak ada semangat ransel dan balaclava
Ta...
Apakah hitam atau putih?
Catatan hening di kala senja menghampiri
28 Mei 2009
pra midnight
Terjerat
Sesaat iklim membiru
Dari sambaran petir
Gulita...
Telaga memancarkan keruh
Dalam bingkai dilema
Berkabut...
Menunggu mentari terbit
Tanpa hitungan detik
Resah...
Nalar tercekik ekspresi
Di atas ranjau aktif
Terjerat...
Nuansa semakin hingar
Terjebak lagu sendiri
Sesal...
Hingga esok memandangi
Tetap telah kadung
Terjerat...
18 Februari 2010, 23:08
~menjadi dilema
Dari sambaran petir
Gulita...
Telaga memancarkan keruh
Dalam bingkai dilema
Berkabut...
Menunggu mentari terbit
Tanpa hitungan detik
Resah...
Nalar tercekik ekspresi
Di atas ranjau aktif
Terjerat...
Nuansa semakin hingar
Terjebak lagu sendiri
Sesal...
Hingga esok memandangi
Tetap telah kadung
Terjerat...
18 Februari 2010, 23:08
~menjadi dilema
Telak
Oleh: Aira Antartika
Aku heran dengan situasi
Aku heran dengan emosi
Aku heran dengan mimpi
Aku heran dengan ironi
Aku heran dengan simpati
Aku heran dengan hati
Begitu telak mendepakku
Heran...
28 Mei 2009
~singkat sebelum midnight
Aku heran dengan situasi
Aku heran dengan emosi
Aku heran dengan mimpi
Aku heran dengan ironi
Aku heran dengan simpati
Aku heran dengan hati
Begitu telak mendepakku
Heran...
28 Mei 2009
~singkat sebelum midnight
Galau
Kala kelopak mata tak mau memejamkan dirinya
Beribu bayangan masih saja bergelayut di alam kontemplasi
Berputar-putar seakan tak rela raga ini terlelap
Bahkan semua warna saling berpegangan membentuk lingkaran
Satu warna bernama tanggung jawab
Warna yang lain memperkenalkan dirinya sebagai: cita-cita, dilema sosial, cairan lambung, gubuk teduh, catatan intelektual, kupu-kupu, dan nama-nama yang selalu ingin dikenal dalam database jiwa
Entah mana yang harus disapa terlebih dahulu
Jika melihat dengan perspektif manusia usang
Karena semua merantai rasa seorang manusia
Seperti setiap manusia dengan mengabaikan sinar
Tetap saja jarum jam berdetik melaju ke kanan
Melahap masa dan usia, semakin bertambah
Tak kenal lelah, tak pernah peduli perkataan siapapun
Terus melaju tanpa ada yang menghalangi
Semakin bodoh, jika berharap seperti negeri imajinasi
Mampu menahan laju waktu untuk beberapa saat
Hingga dapat menyandarkan punggung rapuh pada batang pohon rimbun sambil menghela napas dengan perlahan
Lalu memejamkan mata sekejap saja
Membuang jauh galau yang bersemayam di urat nadi
Ada kalanya manusia -tanpa membedakan warna diri- seperti ini
Namun sinar tetap utuh dalam lentera abadi
Hanya ketika merasa galau
16 November 2009
23:53
Beribu bayangan masih saja bergelayut di alam kontemplasi
Berputar-putar seakan tak rela raga ini terlelap
Bahkan semua warna saling berpegangan membentuk lingkaran
Satu warna bernama tanggung jawab
Warna yang lain memperkenalkan dirinya sebagai: cita-cita, dilema sosial, cairan lambung, gubuk teduh, catatan intelektual, kupu-kupu, dan nama-nama yang selalu ingin dikenal dalam database jiwa
Entah mana yang harus disapa terlebih dahulu
Jika melihat dengan perspektif manusia usang
Karena semua merantai rasa seorang manusia
Seperti setiap manusia dengan mengabaikan sinar
Tetap saja jarum jam berdetik melaju ke kanan
Melahap masa dan usia, semakin bertambah
Tak kenal lelah, tak pernah peduli perkataan siapapun
Terus melaju tanpa ada yang menghalangi
Semakin bodoh, jika berharap seperti negeri imajinasi
Mampu menahan laju waktu untuk beberapa saat
Hingga dapat menyandarkan punggung rapuh pada batang pohon rimbun sambil menghela napas dengan perlahan
Lalu memejamkan mata sekejap saja
Membuang jauh galau yang bersemayam di urat nadi
Ada kalanya manusia -tanpa membedakan warna diri- seperti ini
Namun sinar tetap utuh dalam lentera abadi
Hanya ketika merasa galau
16 November 2009
23:53
Siapa?
Oleh: Aliva Wilda R
-untukmu Wiek
Hadir saat bintang berkelip dalam pekatnya malam
Ketika tangan-tangan menggenggam belati
Dalam ruang pendakian sejati
Masih mengayuh sampan putih, suci
Kau percikan pecahan-pecahan api
Tepat di pelupuk mata, nyata
Siapa?
Langkahmu pasti -satu arah
Bukan merangkak, bahkan terasa berlari
Merasuki haemoglobin
Apa?
Senandungmu terbakar warna
Meraba-raba lamunan
Menatapku tajam
Mengapa?
Bukankah lantunan lagu tentang waktu telah terang?
Egomu tak mau merebah
Haruskah menampar senyum itu?
Hendak lari? Berlarilah!
Mungkin... Aku hilang sejenak
Tetap bisa tertawa
- 4 Mei 2010, 00:00
'tak mampu lagi bermetafora'
Hadir saat bintang berkelip dalam pekatnya malam
Ketika tangan-tangan menggenggam belati
Dalam ruang pendakian sejati
Masih mengayuh sampan putih, suci
Kau percikan pecahan-pecahan api
Tepat di pelupuk mata, nyata
Siapa?
Langkahmu pasti -satu arah
Bukan merangkak, bahkan terasa berlari
Merasuki haemoglobin
Apa?
Senandungmu terbakar warna
Meraba-raba lamunan
Menatapku tajam
Mengapa?
Bukankah lantunan lagu tentang waktu telah terang?
Egomu tak mau merebah
Haruskah menampar senyum itu?
Hendak lari? Berlarilah!
Mungkin... Aku hilang sejenak
Tetap bisa tertawa
- 4 Mei 2010, 00:00
'tak mampu lagi bermetafora'
Terjebak di Ruang Emosi
Diri terdefinisi oleh tiga warna
Lemah layaknya tanah tanpa substansi
Tautan persepsi bernama catatan dan situasi
Padu dalam kompetisi perkenalan makna
Hidup benarlah sebuah drama melodi
Mencari arti antara rasa dan etika
Dan waktu menjadi kawan setia atau musuh
Hingga gelap memperkenalkan dirinya; misteri
- 12 Mei 2010
~selepas sujud di pagi buta
Lemah layaknya tanah tanpa substansi
Tautan persepsi bernama catatan dan situasi
Padu dalam kompetisi perkenalan makna
Hidup benarlah sebuah drama melodi
Mencari arti antara rasa dan etika
Dan waktu menjadi kawan setia atau musuh
Hingga gelap memperkenalkan dirinya; misteri
- 12 Mei 2010
~selepas sujud di pagi buta
Sebuah Kata "Bijak"
Alur cerita ibarat roman karya pengarang-pengarang klasik
Bagian-bagian kisah dirangkai secara kronologis
Sejak prolog hingga epilog, dramatis
Hanya dalam dunia fiksi; adakah realita?
Ketika warna pelangi mulai terlukis nyata
Selepas rintik gerimis di bawah awan kelabu
Bagai kupu-kupu dan bunga Kamboja
Melawan sengatan terik dan deras hujan
Semakin hanyut dan tenggelam
Dalam aliran Amazon -sisi hidup
...
Dedaunan padang savana, renungkanlah!
Kehidupan bukanlah karya sastra
Atau skenario layar lebar
Tetapi benar nyata; mungkin
Terkadang api tak membakar
Air tak membasahi
Timur menjadi barat, barat menjadi timur
Mungkin!!! Mungkin!!!
Jadilah bebatuan!
Tetap tunak meski kemarau, meski penghujan
Semakin bertambah
Memahami sebuah kata "bijak"
- 27 Januari 2010
~terlambat dua hari
Bagian-bagian kisah dirangkai secara kronologis
Sejak prolog hingga epilog, dramatis
Hanya dalam dunia fiksi; adakah realita?
Ketika warna pelangi mulai terlukis nyata
Selepas rintik gerimis di bawah awan kelabu
Bagai kupu-kupu dan bunga Kamboja
Melawan sengatan terik dan deras hujan
Semakin hanyut dan tenggelam
Dalam aliran Amazon -sisi hidup
...
Dedaunan padang savana, renungkanlah!
Kehidupan bukanlah karya sastra
Atau skenario layar lebar
Tetapi benar nyata; mungkin
Terkadang api tak membakar
Air tak membasahi
Timur menjadi barat, barat menjadi timur
Mungkin!!! Mungkin!!!
Jadilah bebatuan!
Tetap tunak meski kemarau, meski penghujan
Semakin bertambah
Memahami sebuah kata "bijak"
- 27 Januari 2010
~terlambat dua hari
Fatamorgana
Masih terjebak di bawah terik surya
Di hamparan gurun Ghobi
Panas membara hingga titik didih
Merasuk hingga ke alveolus
Terasa benar sisi manusia
Goyah, lemah oleh energi
Hingga tak mungkin luput
Karena begitulah tanah
Telapak kaki melepuh benar
Suhu terasa di atas 100 derajat celcius
Tak ada mineral, dehidrasi
Pandangan pudar, paradoks
Fatamorgana
Seperti di bawah pengaruh hipnosis
Melihat palsu gemintang
Fatamorgana
Jangan hanyut
Tak ingin tenggelam
Tetap berjalan di atas air
Hiraukan
Fatamorgana
- 2 Oktober 2009, 05:00
~kembali bertanya
Di hamparan gurun Ghobi
Panas membara hingga titik didih
Merasuk hingga ke alveolus
Terasa benar sisi manusia
Goyah, lemah oleh energi
Hingga tak mungkin luput
Karena begitulah tanah
Telapak kaki melepuh benar
Suhu terasa di atas 100 derajat celcius
Tak ada mineral, dehidrasi
Pandangan pudar, paradoks
Fatamorgana
Seperti di bawah pengaruh hipnosis
Melihat palsu gemintang
Fatamorgana
Jangan hanyut
Tak ingin tenggelam
Tetap berjalan di atas air
Hiraukan
Fatamorgana
- 2 Oktober 2009, 05:00
~kembali bertanya
Jumat, 14 Mei 2010
Hilang
Alur memang cepat berubah
Seiring berputarnya jarum jam
Bagai angin tepi pantai
Bias
Saat bernama Aku
Tak peduli badai menggoncang
Singa mengaum buas
Hanya nyanyian sumbing
Alur memang cepat berubah
Seiring berputarnya jarum jam
Bagai lilin dalam gelap
Leleh
Aroma yang dahulu pasi
Membius waktu
Seiring berputarnya jarum jam
Nyata
Menggumpal memadati arteri
Membeku kaku
Merusak mimpi
Menggoyahkan indera keenam
Luntur
Hilang
Kembali
- 1 Oktober 2009, 23:31
~ miris dengan kenyataan
Seiring berputarnya jarum jam
Bagai angin tepi pantai
Bias
Saat bernama Aku
Tak peduli badai menggoncang
Singa mengaum buas
Hanya nyanyian sumbing
Alur memang cepat berubah
Seiring berputarnya jarum jam
Bagai lilin dalam gelap
Leleh
Aroma yang dahulu pasi
Membius waktu
Seiring berputarnya jarum jam
Nyata
Menggumpal memadati arteri
Membeku kaku
Merusak mimpi
Menggoyahkan indera keenam
Luntur
Hilang
Kembali
- 1 Oktober 2009, 23:31
~ miris dengan kenyataan
Langganan:
Komentar (Atom)