Minggu, 16 Mei 2010

Sindrom Alexandria

Di tengah Sahara terbakar terik surya, jingga
Melangkah bersama dahaga memegang tongkat Cendana
Selalu ditancapkan dalam setiap derap menjejak
Mencari sebongkah oase mencair melumuri kerongkongan

Namun di negeri Mesir, dan ini masih di Mesir
Di antara rekaman-rekaman dokumentasi sejarah
Kumpulan piramida tetap memukau pelancong kesan
Patung Sphinx masih menjadi kohesi tak terbantahkan

Dan ia pejalan kaki di padang gurun –masih di Mesir
Tatapannya selalu terbentur fatamorgana sebentuk Niagara
Yang dahulu terbentang laut merah menjadi demarkasi
Hanya sebatas hembusan angin senja ketika punggung bersandar

Ini dunia waktu dan dimensi, bukan fiksi dari khayalan
Angin tak pernah berhenti menari, sekalipun iklim berotasi
Menggiring ombak tawar dan laut bermuara mendekat. Payau
Ia benar-benar berada di Mesir, tempat piramida itu

Dimensi ini bukan cuplikan dalam tidur –yang menghilang
Tetapi nyata teraba oleh indra dan benar kohesif
Seperti berada di Malang dalam sebuah pendakian terencana
Dunia rimba, dunia Semeru dalam agenda petualangan
Dan ia bagai mengenakan wind breaker menggenggam veldplest
Bahkan ia masih berada di Mesir, di tengah Sahara

Aroma Semeru begitu semerbak benar-benar nyata
Bahkan di atas pasir vulkanik puncak Mahameru
Akhir pendakian pulau Jawa, menunggu sunrise
Ingat! Waktu hanya sampai sepenggalahan
Atau kepulan asap sulfur meracuni haemoglobin
Lalu... Mati. Mati Soe Hook Gie

Masihkah ia pejamkan mata, rapatkan bibir
Sedang ia masih berada di Mesir

24 September 2009

Tidak ada komentar: