: Flip-floper88
Berjalanlah perlahan ayunkan langkah menyusuri jalan setapak tanah merah diantara rerumput mulai menghijau menuju kawanan pinus melambai hangat, Batu Kuda. Hentikan sejenak langkah itu dan tataplah sekeliling. Lihatlah pinus-pinus begitu tegar oleh terpaan angin, guyuran hujan, sengatan mentari. Pandangilah permukaan bukit yang berkelok. Dengarlah gemericik sungai memperkenalkan bening dan sejuknya. Sentuhlah dengan lembut airnya, rasakan dinginnya hingga merasuk dalam nadi. Syahdu memang alam ini.
Langkahkan lagi telapak kaki menuju bukit di atas. Dan tanjakan terjal itu lalui saja. Meski nafas terasa sesak tersengal, lalui saja. Hingga tiba di hamparan sempit punggungan Manglayang. Hempaskan lepas letih itu. Rebahkan saja di atas hijau dan pandangi panorama di bawah. Bukankah hamparan sawah dan deretan Patuha, Malabar, Guntur, bahkan Cikuray terlihat indah. Layaknya lukisan, selalu memanjakan pandangan. Namun, jika ingin, mendekatlah dengan Guntur. Rabalah dengan nyata, ternyata gersang kerontang.
Itulah ruang nyata kehidupan, diantara spektrum warna yang tidak selalu mengkilat, juga tidak selalu kelabu. Ya... hitam, putih, abu, biru, kuning, merah, hijau, dan warna lainnya.
Jangan dulu beranjak dari rebahmu! Pejamkan sesaat kelopak mata. Bayangkan lebih jauh ke negeri matahari. Nampak Sakura sedang berguguran tak menyisakan daunnya. Tapi, bukan mati. Begitulah alurnya. Seperti cakram yang berputar...
Sudah terasakah?
Kini biarlah menjadi kaleidoskop antara januari dan januari. Episodenya menjadi catatan sendiri yang dirangkai dalam sebuah cerita, meski hanya sebuah cerita. Bukan untuk mengundang sesal, dan tak perlu ada sesal. Cukup dengan senyuman.
Saat berselimut oleh dinginnya Bandung Utara, lalu berkendara sampai Ciamis, bercengkrama dengan ombak Pangandaran. Hingga menepi jua dalam rumah tua yang mulai koyak di ujung barat pulau Jawa. Dan pecahan mozaik yang lain biar dirangkai dalam bingkai diorama ketika itu, ya... ketika itu. Walau hanya ketika itu.
Jika pernah mendengar cerita seorang pendaki. Dalam impiannya menapaki beberapa puncak gunung. Namun sang pendaki tak selalu sampai. Pernah, ketika berharap puncak Gede-Pangrango, membelai mesra hamparan alun-alun Suryakencana, memetik gemulai Edelweiss. Tapi tertahan di Air Panas, bahkan tak pernah melewati Kandang Badak. Itulah perjalanan, itulah pendakian.
Mulailah resapi.
Atau seperti legenda Sangkuriang. Memecah Burangrang dan Tangkuban Parahu oleh bentangan Situ Lembang. Dan itu hingga kini, mungkin juga hingga seabad lagi. Tinggal legenda, ya... melegenda.
Meski pendaki tak mengenal lelah, biar terjal. Walau deduri, binatang buas, atau ditelan jurang. Terus mendaki hingga tiba ujung lancip, menyambut sunrise.
Bukan menyerah, bukan pula melempar asa, bukan tak berasa. Hanya dalam permenungan kaki gunung Pulosari. Membuka-buka novel setahun, menatap tajam bentangan samudera Hindia dari Muara Binuangeun. Ini bukan kovalensi melebur. Bagai Arktika dan Antartika saja, derajat yang melintang ke utara dan selatan, dunia yang berbeda. Meski harap dan gerak berkemul padu, mencoba memagut simpul. Simpul abadi. Hanya menanti gerhana. Gerhana keajaiban.
Dan ini pendakian Burangrang dari jalanan Parongpong melalui jalur Paku Haji, hingga tiba di ujungnya. Tugu triangulasi. Mereka mengenang pendakiannya lewat tugu triangulasi di puncak Burangrang. Hanya sebuah kenang. Biar saja adanya.
Permenungan...
Sebuah kata mulai gentayangan dalam ufuk relung, sesal. Remas seperti kertas penuh coretan, lalu lemparkan ke Kawah Ratu. Biar hangus hancur mengabu. Karena memang tak perlu ada sesal. Atau air mata ungkapan kesedihan. Jika layu, layulah sejenak. Jika jatuh, jatuhlah daun Sakura. Sesaat, sesaat. Karena kita menggenggam lentera. Lentera abadi yang benderang oleh minyak Zaytun.
Tersenyumlah...
Lihatlah Rinjani masih tegap berdiri. Berjalanlah, berlarilah melewati Ranu Pane dan Ranu Kumbolo. Jadilah tebing Kiara Payung, atau Karang Bolong, tak goyah oleh hantaman ombak Selat Sunda.
Dan ini menjadi prasasti: Prasasti Januari.
Dirangkai: 31 Januari 2011
Oleh:
Ilalang Jayagiri
Di Pesisir Pantai Barat
Ketika langit tak mampu diraih, bumi tak dapat dipijak, rangkaian diksi menjadi saksi...
Rabu, 23 Februari 2011
Sisi Lain
Wajah dalam ruang teatrikal
Antara tawa dan tatapan
Bentuk tiga dimensi dalam relung
Kutub-kutub adanya
Naskah bahasa oleh peran
Melepas ekspresi tanpa rantai
Terkadang di pantai permainan
Karena hasrat tak berbejana
Oh, sesal mengerdip saat sepi
Dalam lembar skenario
Dan ingin tetap ingin
Lekat dengan adanya
Inilah definisi adanya
Lemah dan canda belaka
Permainan bola dadu saja
Tak bernilai
Namun drama kolosal pewayangan
Menggulirkan episodenya
Dari roman klasik berulang
Juga satu peran simbol karakter
Sisi lain saling menatap
Dalam pertaruhan jiwa
Manusia dan malaikat
Lalu, manakah?
Cita, cita, cita
Rintang, rintang... dan rintang
Dalam tafsir persepsi
Kalah dan berontak
Hingga gugur jua
12 September 2010
Antara tawa dan tatapan
Bentuk tiga dimensi dalam relung
Kutub-kutub adanya
Naskah bahasa oleh peran
Melepas ekspresi tanpa rantai
Terkadang di pantai permainan
Karena hasrat tak berbejana
Oh, sesal mengerdip saat sepi
Dalam lembar skenario
Dan ingin tetap ingin
Lekat dengan adanya
Inilah definisi adanya
Lemah dan canda belaka
Permainan bola dadu saja
Tak bernilai
Namun drama kolosal pewayangan
Menggulirkan episodenya
Dari roman klasik berulang
Juga satu peran simbol karakter
Sisi lain saling menatap
Dalam pertaruhan jiwa
Manusia dan malaikat
Lalu, manakah?
Cita, cita, cita
Rintang, rintang... dan rintang
Dalam tafsir persepsi
Kalah dan berontak
Hingga gugur jua
12 September 2010
Roda
Dua dalam satu bentuk
Lekat berhimpit mengikat arti
Asa dan nyata
Siapa berdiri?
Relung tergenang bayang-bayang
Kroma tujuh rupa
Menggelayut tanpa menggenggam
Nyata
Dan jiwa: oleh nuansa akrilik
Merajut kusut
Dalam terjaga
Letih
Berputar adalah hidup
Kita dan roda; satu
Nyata membius kecut
Karena buta; atau pudar
Ketika berdiri
Ketika terlentang
Bukan kata
Pandangi saja
12 September 2010
Lekat berhimpit mengikat arti
Asa dan nyata
Siapa berdiri?
Relung tergenang bayang-bayang
Kroma tujuh rupa
Menggelayut tanpa menggenggam
Nyata
Dan jiwa: oleh nuansa akrilik
Merajut kusut
Dalam terjaga
Letih
Berputar adalah hidup
Kita dan roda; satu
Nyata membius kecut
Karena buta; atau pudar
Ketika berdiri
Ketika terlentang
Bukan kata
Pandangi saja
12 September 2010
Menghirup Aroma Dunia
Semerbak silau menusuk liur
Aroma kesan bertahta angka
Dari jemari hingga dahi
Menjadi bara obsesi rasa
Meski liku dalam pena
Telapak kaki tetap menjejak
Lumpur prestise dalam kacamata
Sekedar lalu oleh kedipan
Berapa harga dunia?
Menjadi uap bersama nafas
Hinggap kala waktu berdenting
Sekedar kesan; rasa belaka
Ya, bahkan nilai tak lagi definitif
Terkubur sebentuk astana kitab
Karena aroma ini harum membius
Meski antara busuk dan mahkota
Bahkan untukmu
Menjadi nisan berukir: Aku
7 September 2010
Aroma kesan bertahta angka
Dari jemari hingga dahi
Menjadi bara obsesi rasa
Meski liku dalam pena
Telapak kaki tetap menjejak
Lumpur prestise dalam kacamata
Sekedar lalu oleh kedipan
Berapa harga dunia?
Menjadi uap bersama nafas
Hinggap kala waktu berdenting
Sekedar kesan; rasa belaka
Ya, bahkan nilai tak lagi definitif
Terkubur sebentuk astana kitab
Karena aroma ini harum membius
Meski antara busuk dan mahkota
Bahkan untukmu
Menjadi nisan berukir: Aku
7 September 2010
Langganan:
Komentar (Atom)